6
PERMINTAAN TERAKHIR
“Love always happens with wrong person in wrong place at wrong time”
Hari demi hari berlalu. Albi melakukan aktifitas seperti biasanya. Setiap sore pagi bermain futsal, sorenya berenang. Rutinitas tersebut dilakukannya seperti hari-hari yang telah berlalu. Tapi ada yang berbeda. Ia selalu teringat kejadian malam itu, ketika ia mengantar Cheri pulang dari bermain ice skating. Pelukan hangat Cheri masih dirasakan Albi. Padahal sudah satu minggu lebih kejadian itu berlalu. Sudah satu minggu lebih ia tidak bertemu Cheri.
Albi meminggirkan mobilnya di tepi jalan besar di Jakarta. Meraih handphonenya dan mencari nama Cheri di contactnya. Albi mengetik sebuah pesan, ‘Cheri sibuk gak? Jalan mau gak?’ jarinya mendekat tombol kirim, tapi kemudian ia menghapusnya lagi. “Sok asik banget gw,” ucapnya.
Di tempat lain, Cheri duduk di balkon kamarnya ditemani oleh Kirana. Secangkir late Kirana buatkan untuk mereka berdua. Cheri tidak terlalu mendengarkan ucapan Kirana. Bayangan ia memeluk Albi terus melintas di otaknya. Ia pun memukul-mukul kepalanya untuk melupakan kejadian tersebut. “Apa yang gw pikirin sih!! Cheri sadar!!” Kirana menengok ke Cheri yang tiba-tiba ngomong sendiri. Handphone Cheri berbunyi, satu pesan masuk. Cheri yang masih ngomong sendiri tidak menyadari handphonenya berbunyi. Kirana mengambil handphonenya dan melihat ada satu pesan masuk.
Kirana menyodorkan handphone tersebut ke Cheri. Dengan suara ketus Kirana berbicara, “tuh dari Albi.”
Cheri berhenti memukulkan kepalanya dan langsung meraih handphone yang ada di tangan Kirana. Ia membuka pesan tersebut. ‘Cheri, mau ikut gw gak jenguk eyang? Katanya udah sembuhan. Kalau mau, gw jemput satu jam lagi. Kabarin ya.’ Kirana juga membaca pesan tersebut. “Bawa-bawa eyang? Sok asik,” ucap Kirana ketus. Cheri langsung masuk ke kamarnya dan langsung menuju kamar mandi. Kirana hanya kesal melihat kesigapan Cheri setelah membalas pesan dari Albi.
Wangi parfum Cheri langsung tercium oleh Kirana. Cheri begitu rapi pakaiannya. Setelah semua rapih, Cheri kembali duduk di balkon menemani Kirana. “Lo suka sama Albi, Cher? Gebetan lo gimana? Mas Bruno?”
Cheri menggeleng dan berkata, “kan mau ketemu eyang, Lana. Kok jadi bawa-bawa perasaan? Ikut aja yuk kalau gak percaya.” Kirana menolak untuk ikut. Albi pun menjemput Cheri di depan rumah Cheri. Cheri masuk ke mobil Albi meninggalkan Kirana yang juga memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Mobil melaju ke rumah eyang di Bogor. Di sepanjang perjalanan Albi terus mencairkan suasana hening yang ada di mobil dengan banyolan-banyolan lucunya. Cheri tak begitu tertarik. Dia hanya tertawa kecil setiap kali Albi mencoba melucu.
Cheri dan Albi tiba di rumah eyang yang sangat sepi. Hanya ada eyang dan seorang pembantu. Ketiganya, eyang, Cheri, dan Albi duduk di sofa yang terdapa di pojokan kamar eyang. Segelas teh hangat dibawakan mbok darmi untuk tamu eyang tersebut. Eyang tak bisa berhenti tersenyum melihat kehadiran cucunya Albi di rumahnya.
Setelah beberapa jam mengobrol dengan eyang, Albi dan Cheri berpamitan. Di depan gerbang rumah, mereka berdua bertemu dengan Lesy dan Albi yang kaget melihat Cheri bersama Albi. Lesy langsung menarik tangan Albi untuk diajak mengobrol. Dari jauh, Cheri melihat Lesy marah-marah kepada Albi. Albi terlihat tidak peduli dengan omongan Lesy, bahkan terlihat tertawa-tawa. Tiba-tiba saja pembantu eyang lari dari dalam rumah sambil meneriakan eyang berkali-kali. Abang langsung masuk ke dalam rumah sambil teriak ke arah Cheri, “CHERI JANGAN BENGONG! TELFON AMBULANCE!!” air mata tiba-tiba menetes dari kedua mata Cheri. Albi yang melihat Cheri menangis lekas menghampirinya. Cheri memberikan handphonenya ke Albi dan Albi lekas menelfon ambulance. Cheri mengapus air matannya yang masih terus menetes.
Albi tidak dapat mengalihkan pandangannya dari Cheri yang masih sibuk menghapus air mata. Setelah ambulance siap datang, Albi langsung memfokuskan perhatiannya ke Cheri. “Ambulance bentar lagi dateng kok Cher, tenang yah.”
Cheri menggeleng. Bukan karena itu dia menangis. Cheri tidak bisa dibentak oleh orang secara tiba-tiba. Dia pasti reflek mengeluarkan air mata jika ada orang yang tiba-tiba membentaknya. Albi mengusap rambut Cheri, mencoba menenangkannya.
Eyang lekas di larikan di rumah sakit terdekat. Abang sibuk mengabarkan keluarga besarnya, memberitahu keadaan eyang yang masih di dalam ruang UGD di periksa oleh dokter keluarga. Semua anak dan cucu eyang sudah menunggu kabar dari dokter yang memeriksa eyang. Mereka semua terlihat cemas. Hampir 3 tahun eyang tidak pernah jatuh pingsan, meskipun sakit jantungnya sering kumat. Dokter pun keluar, memberitahukan kabar eyang yang sudah dipindahkan ke ruang ICU.
“Ini kondisi paling buruk eyang 3 tahun terakhir. Eyang udah sadar, tapi masih lemah banget. Jadi eyang mungkin beberapa hari kedepan harus rawat inap di sini.” Ucap dokter tersebut, yang tak lain adalah anak laki-laki ke dua eyang, Heru. Hampir semua saudara serta ponakannya yang ada di depan ruang UGD ia kenal. Kecuali satu wajah yang ia kenal tapi tidak terlalu sering ia kenal. “Albi yah? Albi anaknya mas Dimas kan?”
Albi mengangguk. Heru menepuk pundak Albi dengan penuh kebanggaan. “Mirip mas Dimas yah, Ru? Wataknya juga gak beda. Suka ngebanyol.” Ucap anak eyang yang lain. Albi hanya bia senyum terpaksas melihat om dan tantenya yang sedang mengolok-oloknya. Di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Albi tidak mau disamakan dengan ayahnya. Ia sudah terlalu kecewa dengan orang tuanya yang meninggalkannya demi sebuah pekerjaan.
“Eyang pasti seneng banget kamu sering silaturahmi. Ibu mana sih yang gak kangen sama anaknya?” bisik Heru sambil berjalan pergi ke ruangannya. Cheri sangat tidak mengerti dengan omongan keluarga besar eyang. Ia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi dengan Albi dan keluarganya.
Hari demi hari berlalu, kondisi eyang tidak semakin membaik. Sudah 5 hari kondisi eyang menurun. Heru pun memanggil saudara-saudaranya untuk berkumpul di rumah sakit. Ada yang mau eyang bicarakan. Tak terkecuali Albi dan Cheri. Mereka semua berkumpul di ruang rawat VIP dimana eyang berada. Ketika semuanya sudah datang, eyang pun mulai berbicara dengan suara yang pelan dan terdengar begitu lemah. Anak-anak eyang mulai menenangkan keadaan, sehingga suara eyang bisa terdengar dengan jelas.
Setelah mengatakan beberapa kalimat, eyang akhirnya memberitahukan tujuannya mengumpulkan mereka semua di rumah sakit. Karena eyang yang tidak bisa berbicara terlalu keras, ia pun membisikan setiap omongannya ke Heru, lalu kemudian Heru yang menyampaikannya dengan suara yang lebih keras.
“Ini mungkin permintaan eyang yang terakhir,” Heru terdiam. Ia terkejut eyang membisikan hal tersebut kepadanya. Heru pun mengatakannya.
“Eyang mau ngasih sesuatu ke Albi, karena dari Albi lahir eyang gak pernah ngasih apapun.” Heru mendekatkan telinganya ke mulut eyang yang membisikannya lagi. “Eyang gak mau Albi terus-terusan kesepian, gak ada memperhatiin. Eyang ngerasa bersalah banget sama Albi.”
Albi yang berdiri di dekat pintu, menunduk mendengar ucapan Heru. Ia sama sekali tidak menduga eyang mengumpulkan anak dan cucunya hanya untuk membicarakan tentangnya.
Heru melirik ke arah Albi, lalu bergeser ke arah Cheri. Senyum kecil tersirat di wajahnya. Kemudian ia melirik ke Abang, dan senyum itu hilang. “Eyang mau Albi menikah,” Heru memberhentikan ucapannya. Ia susah untuk melanjutkan ucapan eyang melihat suasana menjadi tegang. Tidak ada yang tahu kenapa eyang meminta hal tersebut. Kenapa? “Hati eyang gak bakal tenang ngeliat Albi yang sendirian.”
Anak perempuan eyang satu-satunya berdiri dari duduknya. Ia menggelengkan kepala selama mendengar ucapan Heru. Ia sudah tidak tahan lagi mendengar permintaan eyang yang aneh-aneh tersebut. “Mamy, kenapa sih setiap bawa-bawa mas Dimas pasti ada masalah baru? Mamy drop kayak gini gara-gara mikirin mas Dimas lagi kan? udah deh, mas Dimas tuh udah gak inget sama keluarganya. Gak usah lah kita urusin keluarganya dia. Mita capek.” Mita, bungsunya eyang, keluar dari ruangan.
Ingin sekali Albi ikut pergi dari ruangan tersebut. Ia mulai merasa tidak nyaman berada di lingkungan yang membenci orangtuanya. Cheri yang tidak tahu apa-apa terdorong untuk mendekati Albi. Ia merasa Albi terpojokan dengan suasana ini. Cheri mendekati Albi yang terlihat terpukul banget dengan ucapan Mita barusan. Cheri mengelus pundak Albi. Albi memberikan senyuman terpaksa ke Cheri yang terlihat baik kepadanya.
“Kamu gak salah apa-apa, Bi. Omongan Mita gak usah didenger. Dia kecewa banget sama ayah kamu, jadinya gitu. Tapi gak ada yang benci kok sama kamu.” Ucap Heru.
Abang mendekat ke Albi dan menepuk pundaknya, “gak ada yang benci sama lo, Bi. Kita semua peduli sama lo.”
Albi yang merasa sedikit terpukul karena ucapan Mita akhirnya kembali tenang mendenga support dari keluarganya dan Cheri. Ia dengan pelang menyentuh tangan kiri Cheri dan menggenggamnya. Cheri ingin langsung melepaskan tangannya dari tangan Albi. Tapi tangan Albi begitu dingin. Cheripun menggenggam tangan Albi karena merasa kasihan kepadanya.
Heru melanjutkan perkataan eyang yang tertunda, “Eyang mau Albi menikah dengan orang pilihan eyang. Eyang percaya orang ini gak bakal ngecewain Albi, dia pasti mengobati rasa kesepian Albi selama bertahun-tahun hidup sendiri.” Heru kembali berhenti. Ia tersenyum melihat Cheri dan Albi yang saling berpegangan tangan. “Eyang mau…. Albi… menikah dengan… Cheri.”
Cheri lekas melepaskan tangannya. Tidak hanya Cheri yang kaget mendengar permintaan eyang, Abang, serta anak eyang yang lain juga ikut kaget. Albi lebih kaget lagi. Ia memang menyukai Cheri dan berniat mendekati Cheri untuk dijadikan pacarnya. Tapi ia sangat kaget mendengar eyang mau menikahkannya dengan Cheri. Abang meninggalkan ruangan tanpa berkata apapun. Eyang tahu bagaimana perasaan Abang ke Cheri. Ia sangat kecewa mendengar keputusan eyang.
Albi tidak bisa tidur setelah pulang dari rumah sakit. Pikirannya bercampur aduk. Menikah dengan Cheri bukanlah keputusan baik baginya saat ini. Ia hanya ingin dekat dengan Cheri, berpacaran, bukan menikah. Menikah adalah rencananya beberapa tahun yang akan datang. Setelah ia sarjana, saat ia mejalani S2nya. Jika bertanya dengan hati, menikah dengan Cheri adalah suatu keputusan yang baik. Menikah adalah ibadah, dia juga memilki perasaan kepada Cheri. Tapi jika bertanya dengan otak, ia harus bersikap realistis. Diumurnya yang belum mencapai 25 tahun, pernikahan bukanlah ide baik. Keduanya masih masa pencarian jati diri, emosi keduanya belum stabil. Pernikahan bukanlah sekedar bermodal perasaan cinta, tapi juga harus diikuti dengan material, waktu, dan lain-lain. Ia tidak ingin sekedar menikah dan pernikahannya akan seperti pernikahan orangtuanya.
Di rumah, Cheri langsung membahas hal tersebut dengan kedua orangtuanya. Tanpa Cheri sangka, ternyata orangtuanya malah menyetujui hal tersebut. Dengan nada bercanda sang ibu berkata, “gak apa-apa dek, kan gak jadi perawan tua. Hahaha.”
Setelah lama mengolok-olok Cheri dengan perihal pernikahan tersebut, ayahnya pun memberikan keputusan. Ayah tampak bijaksana dalam menyikapi hal tersebut. “Menikahkan ibadah, dek. Tapi gak bisa dibawa main-main juga. Meskipun cuman status, kamu punya tanggung jawab loh sama suami. Ayah gak mau ngeliat kamu jadi istir yang gak peduli sama suami. Apalagi kata kamu Albi hidup sendirian. membahagiakan orang lain kan pahala juga buat kita.” Ayah menarik nafas panjang. Menikahkan putri bungsunya memiliki kelegaan dan kekhawatiran baginya. Memang sudah kewajiban seorang bapak menikahkan anaknya.
“Ayah sama bunda ikut keputusan kamu aja, dek. Kamu kan yang menjalani. Inget, walaupun cuman status aja, ini pernikahan, gak main-main. Kamu pikirin baik-baik,” ucap sang bunda.
Cheri mungkin lebih beruntung, bisa mendiskusikannya dengan keluarganya. Albi yang sendirian, harus memikirkan hal tersebut dengan pikirannya sendiri, tidak dibantu keluarganya.
Albi mencoba menghubungi keluarganya di Eropa. Seseorang menjawab telfonnya dengan bahasa asing, bukan bahasa Inggris. Albipun berbicara dengan orang tersebut dengan bahasa yang mereka pakai, menjelaskan maksud ia menelfon. Tak lama kemudian telfon tersebut disambungkan ke telfon ayahnya. Terdengar suara berat berbicara, “Halo?”
Jantung Albi berdetak begitu cepat. Sudah begitu lama ia tidak mendengar suara ayahnya. “Pah, ini Albi.” Ayahnya membalas dengan bahasa asing lagi. “Papah kapan pulang? Albi mau….” Telfon terputus. Ayahnya yang mematikan telfon. Albi menaruh telfonnya ke atas meja di samping tempat tidurnya. Lagi-lagi ia harus menyelesaikan masalah dengan seorang diri.
Eyang yang masih dirawat di rumah sakit, menunggu jawaban dari Albi dan Cheri. Eyang sangat mengharapkan keduanya setuju untuk di nikahkan. Dengan begitu, beban eyang dapat berkurang. Beban perhatian yang tidak tersalurkan kepadanya cucu laki-lakinya tersebut. Terlalu perih untuk eyang jika mengingat ia jarang bertemu dengan Albi. Selalu teriris hati eyang jika mendengar kabar Albi yang hidup seorang diri, mendengar orangtuanya yang hanya mengirim uang bulanan tanpa pulang-pulang ke Indonesia. Mereka keterlaluan memperlakukan Albi seperti itu, tapi eyang tidak dapat berbuat apa-apa.
Heru datang untuk memperiksa keadaan ibunya. Ia juga membawa kabar yang dinanti-nanti eyang selama beberapa hari terakhir. “Heru ada kabar baik dan buruk. Mamy mau denger yang mana dulu?” Heru menceritakan kepada ibunya, kemarin ia baru saja berkunjung ke rumah orangtua Cheri. Silaturahmi dan lamaran. “Orang tua Cheri setuju-setuju saja Cheri dinikahkan dengan Albi.”
Eyang tersenyum. Ia sudah menduga hal tersebut akan terjadi. Eyang sudah yakin Cheri akan menerimanya, karena Cheri adalah anak yang patuh kepada orang tua dan sangat baik hati. Yang eyang takutkan adalah jawaban Albi. Eyang tidak terlalu mengerti watak Albi. Bisa jadi seperti bapaknya, yang keras kepala. Eyang pun sudah siap mendengar kabar buruk yang dibawa Heru.
“Kabar buruknya,” Heru memegang tangan kanan ibunya. “Mas Dimas dan istri kemungkinan besar tidak akan datang di pernikahan nanti.” Senyum eyang tidak hilang, bahkan semakin lebar. Ia tidak percaya Albi akan menyetujuinya. Air mata eyang menetes karena bahagia.
“Kamu urus semuanya yah, Heru. Mamy percayain semuanya ke kamu.” Ucap eyang lemah.
“Mamy pasti kecewa kan? Heru tau mamy pasti berharap banget mas Dimas pulang kan? hati keras mas Dimas semakin menjadi karena tinggal di sana. Kita gak bisa berharap banyak dia inget sama kita. Anaknya aja ditinggal gitu aja.”
Kabar Albi dan Cheri yang akan menikah adalah kabar yang bahagia, untuk keluarga keduanya. Tapi tidak untuk beberapa orang, Abang, Lesy, dan Kirana. Abang sudah tidak terlihat lagi semenjak eyang memutuskan untuk menikahkan Albi dengan Cheri. ia begitu kecewa atas keputusan eyang. Meskipun hubungan Abang dan Cheri hanya sebatas teman, tapi kedekatan mereka yang masih baik terjadi setelah putus, itu dikarenakan masih adanya perasaan sayang Abang ke Cheri. bahkan ia berharap suatu hari nanti ia bisa kembali pacaran dengan Cheri.
Kirana tentu marah besar mendengar Cheri akan menikah dengan Albi. “Lo masih muda, Cheri. gw aja yang udah pacaran 4 tahun, belum ada rencana nikah. Lo?! Sama Albi pula! Are you insane?” itu yang terucap dari mulut Kirana ketika Cheri memberitahukannya. Kirana menjadi susah di hubungi oleh Cheri setelah itu. Padahal Cheri sangat membutuhkan Kirana untuk membantunya mengurus pernikahannya dengan Albi.
Bulan depan, satu minggu sebelum semesteran baru dimulai, Cheri dan Albi akan melangsungkan pernikahan. Cheri meminta hanya keluarga dan sahabat saja yang diundang. Ia sama sekali tidak mau pernikahan yang meriah. Karena menurutnya ini hanyalah pernikahan sementara, demi eyang.
“Cher, sibuk gak?” Albi menelfon Cheri. “Jalan yuk. Hmm kan kita mesti saling kenal juga kan?” ini adalah kesempatan baik untuk Albi mendekati Cheri. tapi sepertinya Cheri tidak terlalu senang dengan pernikahan ini. Terlihat tidak begitu excited. Tapi Cheri akhirnya mau diajak pergi oleh Albi. Banyak yang ia ingin tahu tentang keluarga Albi, mengapa begitu terlihat complicated dimatanya.
“Yaudah sekalian aja, Bi. Om Heru sms, hari ini nyari kebaya buat akad. Mau nyari dimana?” seharusnya waktu mencari gaun pernikahan adalah waktu yang paling ditunggu oleh mempelai wanita. Siapa wanita yang tidak mau terlihat cantik dan sempurna di hari pernikahannya. Tapi Cheri bukanlah wanita tersebut. Suaranya tidak terlalu semangat.
Albi menyadari ketidaksemangatan Cheri. ia pun mencari ide supaya tidak hanya dia yang bahagia dengan keputusan ini, tapi juga Cheri. “Her dream wedding, Bi. It’s soo easy nyari jawabannya kan? ah bro, gimana sih lo.” Meminta bantuan Bagas bukanalah hal buruk. Mungkin keputusan yang paling baik. Albi mulai mencari tahu apa yang Cheri impikan di pernikahannya nanti. Satu-satunya orang yang tahu, menurut Bagas, adalah Kirana. Albi tidak menyerah, meskipun ia harus bertengkar dengan Kirana. Sebelum menjemput Cheri, ia sempatkan bertemu dengan Kirana yang untungnya sedang bersama Bagas.
“Demi kebahagian Cheri,” senyumpun terukir diwajah Albi. Ia tidak tahu mengapa ia sangat senang kelak akan ada Cheri yang menemani hari-harinya.
......................
No comments:
Post a Comment