Thursday, July 7, 2011

perfect two part 4

4
YOU FOUND ME
“I’ve never heard silence quite this loud  – Taylor Swift”

            Bagas menyewa satu kapal khusus berempat. Mereka diving untuk terakhir kalinya sebelum besok kembali ke Jakarta. Cheri kali ini ikut pergi ke tengah laut, ke diving area. Tapi ia sama sekali tidak mempersiapkan diri untuk diving. Kirana dan Bagas pun tidak memaksa Cheri untuk ikut diving. Cheri akhirnya mau ke tengah laut karena tidak mau melewatkan hari-hari terkahir di pulau tersebut bersama teman-temannya.
            Kapal pun berhenti di salah satu titik diving yang menurut nahkoda kapalnya adalah yang terbaik di sekitar perairan tersebut. Kirana dan Bagas sudah berpakaian menyelam lengkap dengan tabung oksigen. Mereka berduapun masuk ke dalam air, ditemani dengan 2 orang pemandu. Mereka berempat mulai diving meninggalkan Albi yang masih sibuk memasang baju selamnya. Albi akan diving dengan pemandu yang lain. Albi duduk di pinggir kapal, siap untuk menyebur ke dalam laut.
            “Beneran gak mau ikut?” tanya Albi ke Cheri yang memandanginya. Cheri menggeleng. Albipun masuk ke dalam air.
            “Albi!!” Teriak Cheri dari pinggir kapal. Albi yang mau menyelam terhenti karena mendengar panggilannya Cheri. Cheri melempar kamera ke arah Albi. “Take some picture.” Albi mengacungkan kedua ibu jari tangannya ke arah Cheri dan kemudian menyelam kedalam laut.
            Jantung Cheri berdetak begitu kencang. Tiba-tiba saja ia merasa sesak setelah Albi menyelam. Ia pun menjauh dari pinggir kapal dan merebahkan badannya di kursi. Cheri memikirkan apa yang baru ia rasakan barusan. Ia tiba-tiba sesak karena melihat lautan yang tampak begitu dalam apa karena Albi?
            Belum 20 menit berjalan, Albi sudah terlihat di permukaan air. Ia pun berenang menuju kapal dan kemudian naik ke kapal. Cheri melihat kea rah Albi dengan tatapan keanehan. Walaupun sudah lama ia tidak diving, tapi Cheri tahu betul diving belum mencapai 20 menit belum bisa melihat seluruh keindahan biota bawah laut. Albi duduk di kursi didepan Cheri. Ia meminum air mineral yang disediakan oleh nahkoda kapalnya.
            “Wah ma situ sayang banget. Ke arah barat dikit, itu udah sampai padahal di titik terbagusnya.” Ucap pemandu yang menemani Albi selama menyelam.
            “Gak tau nih, mas. Kayak ada yang kurang, gak sreg aja. Tapi padahal biasanya juda diving sendiri. Gak tau nih, aneh.” Cheri terdiam mendengar ucapannya Albi. Apa Albi bisa ngerasain perasaan gelisah yang tiba-tiba tadi Cheri rasain? Pertanyaan itu tiba-tiba muncul dibenak Cheri.
            Cheri mengubah posisi duduknya dan mengarah ke lautan yang berada di belakangnya. Jika ia terus melihat Albi maka pertanyaan tersebut akan terus terngiang-ngiang di benaknya. Keduan kakinya ia lipat dan ia dekatkan ke dadanya. Albi berdiri dan duduk di belakang Cheri. Keduanya berdekatan tetapi tidak saling berbicara.
            Tiba-tiba Cheri berdiri, mengambil baju diving yang ada di depan matanya. Setelah baju selam terpakai, ia mengambil kaca mata, lalu memakai sepatu kodoknya. Albi melihatnya dengan heran. “Mau ngapain si Cheri?” tanya Albi di dalam hatinya. Setelah semuanya telah Cheri kenakan, ia kemudian duduk kembali dan diam.
            “Gw ngapain sih?” ucapnya heran dengan apa yang baru saja ia lakukan.
Albi menyadari sesuatu. “Itu panggilan hati, Cher!!! Hahaha,” ucap Albi sambil tertawa. Cheri mencoba mengartikan ucapan Albi. Seharusnya ia tidak seperti itu, seharusnya ia tidak mengenakan baju selam karena ia takut. Albi berdiri dan memberitahukan mas Untung, pemandu selamnya, untuk menyiapkan tabung oksigen untuk Cheri. Cheri masih diam, tidak mendengarkan ucapan Albi ke mas Untung.
Baru kemudian ia sadar ketika mas Untung membawakan tabung oksigen ke depapnnya. “Eh, mas, saya gak mau…”
Albi memotong dengan cepat ucapan Cheri, “masih takut? Ada gw, Cher. Gw gak bakalan ninggalin lo.”
“Ta-ta-tapi..”
“Udah gak ada tapi-tapian. Selama ada gw, rasa takut lo akan hilang, hahaha.”
Mas Untung membantu memasangkan tabung oksigen ke Cheri. Setelah semuanya siap, Albi masuk ke dalam air lebih dahulu. Ia menunggu Cheri yang masih ada di atas kapal untuk masuk ke dalam air. Ia terus menunggu Cheri, tanpa rasa kesal sedikitpun. Jantung Cheri berdetak begitu cepat. Kejadian masa lalu terlihat kembali di matanya. Semuanya. Ia merenungkan niatnya untuk menyelam.
“Eh eh eh!! Cheri!! Ayo!” teriak Albi.
“Gak, gak bisa, Bi. Gak bisa.”
“Cher, sekarang atau gak sama sekali. Itu udah bertahun-tahun yang lalu. Ayolah. Gw janji, gak bakal ninggalin lo apapun kondisinya. Cross my heart!!”  Cheri mendengarkan ucapan Albi dengan sangat seksama. Dalam lubuk hatinya, ia percaya dengan ucapan Albi tapi trauma diving masa lampau masih terus menghantuinya. “Come on, Cheri!! You’re not born to be afraid of ocean. You can do this!!”
Cheri mencoba menyemangati dirinya sendiri di dalam hati, tapi Cheri tidak beranjak dari posisi berdirinya di dalam kapal. Akhirnya Cheri memberanikan dirinya. Dia pun menyebur kelaut dan Albi langsung mendekatinya. Mereka pun mulai menyelam. Baru di kedalaman 1 meter, Cheri berhenti berenang. Ketakutan itu muncul kembali. Jantungnya berdetak amat cepat. Albi mendekatinya dan memegang tangan kanan Cheri. Tiba-tiba Cheri merasa tenang. Ketakutan itu hilang seiring Albi memegang tangannya. Albi menarik Cheri menyelam lebih dalam.
Mereka berdua akhirnya bertemu dengan Bagas dan Kirana. Mata Kirana langsung tertuju ke tangan Albi yang menggenggam erat tangan Cheri. Ia pun tidak bisa melepas pandangannya kepada mereka selama menyelam. Tak banyak yang diucapkan Kirana setelah mereka semua kembali ke kapal dan menuju penginapan kembali. Begitupula dengan Cheri. Ia begitu diam. Kesunyian itu berlanjut hingga penerbangan kembali ke Jakarta. Di pesawat Kirana memutuskan untuk duduk bersama Kirana, tapi tetap tidak banyak pembicaraan yang terbentuk. Berbeda dengan para perempuan, Bagas dan Albi membangun suasana yang ramai. Banyak sekali topic pembicaraan yang mereka bahas. Dari masalah politik hingga pertanyaan teka-teki.
            Bagas dan Kirana menaiki mobil yang menjemput mereka berempat di bandara. “Kamu kenapa, yang? Dari tadi diem mulu.” Tak ada jawaban yang Bagas terima. “Lo juga Cher. Sama aja.”  Semua telah kembali ke rumah masing-masing. Hari berikutnya mereka berempat tidak saling bertemu, hanya Kirana dan Bagas yang saling bertemu.
            Terlihat mobil berplat F terparkir di halamn rumah Cheri di suatu minggu pagi. Lalu beberapa jam kemudia mobil tersebut meninggalkan rumah tersebut. Di dalam mobil sudah terdapat Cheri dan Abang yang berjalan ke arah Bogor. 2 jam perjalanan mereka tempuh untuk ke rumah Eyank. Ya, eyank sedang drop kesehatannya. Sehingga Albi mengajak Cheri untuk menjenguknya.
            Cheri duduk di sisi tempat tidur dimana eyang sedang tiduran. Tangannya memegang tangan Eyang yang terasa hangat. Muka eyang memang terlihat pucat. “Eyang cepet sembuh yah. Cheri gak mau ngeliat eyang sakit gini.”
            Eyang tersenyum mendengar ketulusan omongan Cheri. Lalu ia berkata dengan suara begitu lemah, “eyang pingin sering bertemu Albi.” Cheri terkejut mendengar ucapan eyang. Bagas yang ada di dalam kamar eyang juga ikut kaget. “Kamu kan satu kampus, sering ajak dia ketemu eyang yah sayang.”
            Setelah keluar dari kamar eyang, handphone Cheri bergetar. Ada pesan masuk. Ia membukanya. Permintaan maaf. Cheri membiarkan pesan tersebut tanpa berniat membalasnya. Abang menawarinya untuk pulang, Cheri pun menerimanya. Mereka berpamitan dengan keluarga yang ada di rumah eyang dan langsung pulang ke Jakarta. Tapi Abang membelokan mobil kea rah lain, bukan kea rah rumah Cheri, tetapi arah suatu mall di Jakarta selatan.
            Cheri berjalan disamping Abang, menyusuri setiap liku mall tersebut. Cheri masih belum mendapatkan jawaban atas pertanyaannya ke Abang saat memarkirkan mobil. Mau ngapain mereka ke mall tersebut? “Ngapain dia disini? Jadi, gw mau ketemu dia?” ucap Cheri di dalam hati ketika Abang akhirnya memberitahukan Cheri secara tidak langsung alasannya pergi ke mall tersebut.
            Abang berjabat tangan dengan Albi. “Gw mendadak gak sih minta ketemuan disini?” Albi menggeleng, “gini Bi, eyang drop kesehatannya. Alhamdulillah kata dokter bukan jantung…”
            Albi tidak sepenuhnya mendengar ucapan Bagas. Pandangannya tertuju kea rah Cheri yang terus sibuk sendiri, seperti tidak memperdulikan Albi didepannya. “Cuman seminggu gw gak ketemu lo,tapi berasa kangen banget.” Ucap Bagas dalam hati.
            “Woy!! Dengerin gak?” pandangan Albi yang tertuju ke Cheri pun langsung buyar setelah hentakan suara dari Abang. “Eyang minta lo sering kerumahnya, sekedar nengok. Ya seke…..” ucapan Abang terhenti. Seorang gadis tiba-tiba menghampiri Albi dan langsung megandengnya. “Wess, ternyata gw ganggu malam minggu lo ternyata. Hahahaa sorry masbro.”
            Cheri menegakan kepalanya setelah sekian lama menunduk. Ia melihat gadis itu juga. Berdiri tepat disamping Albi dengan tangan megandeng tangan Albi. Albi menyadari Abang dan Cheri sedang menatap dia dan gadis tersebut. Ia pun segera mengklarifikasinya dengan melepaskan tangan gadis tersebut. Tapi tak lama kemudian gadis itu megandengnya lagi.
            “Yaudah atuh, kalau kalian mau pacaran mah silahkan. Gw cuman mau ngomong itu doang, turun langsung dari eyang.” Albi mengangguk. Ia mencoba tetap asik dengan Abang, tapi dalam lubuk hatinya yang paling dalam, perasaannya begitu tidak karuan. Antara kesal, gak enak, kangen, semua campur aduk menjadi satu. “Atuh kenalan dulu. saya Abang, sepupunya Albi.” Abang mengulurkan tangan kanannya dan disambut pula oleh tangan gadis tersebut.
            “Abang anaknya om Sudrajat?” ucap gadis itu. Abang shock mendengarnya. Bagaimana seorang gadis yang belum pernah ia lihat bisa tahu nama ayahnya. Abang mengangguk dengan raut wajah senang tapi bercampur dengan kekagetannya. “Aku Lesy, anaknya bu Mirna Astuti.”
            “OOhh tante Tuti?? Lesy yang model bukan? Ya ampun, meunika geulis pisan sekarang.” Abang langsung terlihat akrab dengan Lesy. Mereka berdua secara tidak sadar berjalan menuju suatu restaurant, lalu duduk, dan tetap mengobrol, sembari memesan makanan. Mereka seperti asik membicarakan masa lalu dan meninggalkan Cheri dan Albi berduaan.
            Albi yang menyadari hal tersebut segera mengikut jejak Abang dan Lesy masuk ke restraurant tersebut. Sedangkan Cheri berjalan kea rah sebaliknya. Albi menyadari Cheri tidak berjalan mengikutinya. Ia berbalik badan dan melihat Cheri berjalan berbeda arah dengannya. “Albi, sini buruan!!” teriak Lesy dari dalam restaurant. Albi masuk ke dalam restaurant, duduk di samping Lesy dan meninggalkan Cheri dengan dirinya sendiri.
            Cheri mengambil handphonenya dan menelfon Kirana. Ketika Kirana mengangkatnya, ia hanya mendengar ingas tangis pelan dari Cheri. “Cheri sayang, kamu kenapa? Kok nangis? Cerita sini. Aku pasti dengerin.”
            Cheri mencoba menenangkan dirinya. Ia tidak ingin menangis, tapi perasaan sesak tiba-tiba muncul. “Eyang sakit,” ucap Cheri dengan suara bercampur isakan tangis.
            “Iya, tadi Abang udah ngasih tau aku. Gak mungkin baru sedihnya sekarang, coba jujur deh sama gw.” Kirana hanya mendengar isak tangis Cheri, nafasnya yang terputus-putus karena menangis. Ia tahu pasti ada sesuatu terjadi. Dan pasti berkaitan dengan lelaki yang sahabatnya tersebut suka. “Gebetan lo ya? Kenapa dia?”
            Di restaurant, Abang masih berbagi cerita masa lalu dengan Lesy. Lesy adalah teman semasa TK dulu. Kedua orang tua mereka bersahabatan. Tak jarang, ibu Tuti datang ke rumah eyang ketika Abang dan orangtuanya masih tinggal bersama eyang. Tapi akhir-akhir ini, kedua orang tua Abang dan Lesy mempunyai kesibukan masing-masing sehingga jarang bertemu. Mungkin di tempat itu yang menyadari Cheri hilang hanya Albi. Ia duduk diam, gelisah di dalam hatinya. “Cheri kemana ya? Kok dia gak gabung?” kegelisahan it uterus Albi rasakan.
            “Kenapa Kirana?” Abang mengangkat telefon masuk ke handphonenya yang tak lain adalah Kirana. Suara Kirana terdengar hingga telinga Albi yang duduk di serong depan Abang. Kirana terdengar marah, nama Cheri sering disebutkannya beberapa kali. Abang akhirnya menyadari Cheri tidak ada bersamanya. Abang menutup microphone handphonenya agar Kirana tidak mendengar omongannya. “Cheri mana?” tanya Abang dengan suara sangat pelan.
Albi dan Lesy mengangkat bahu sembari menggeleng. “Tadi dia nelfon gw sambil nang….” Kirana berhenti bicara. “Dia sama lo gak?”
Abang menyadari ada satu kata yang terputus oleh Kirana. “Dia lagi ke toilet. Bbm aja gih.” Kirana langsung memutuskan telefon. “Sorry nih sebelumnya, kayaknya gw pamit duluan yah. Urusan gw sama lo Bi udah selesekan? Gw mau nyari Cheri dulu. gw hubungin lagi ya, Les.”
Albi berdiri dari kursi setelah Abang meninggalkan restaurant. “Mau kemana? Dinner dulu aja yah, Bi.” Ucap Lesy saat melihat Albi berdiri dan mau berjalan meninggalkan restaurant. Albi tetap pergi, tidak menghiraukan ucapan Lesy. Lesy mengejarnya. “Kamu kenapa sih? Jadi kayak orang linglung gini?” Lesy menarik tangan Albi dan menariknya masuk kembali ke restaurant. Albi melepaskan tangan Lesy. “Cheri is fine, Albi. Ya gak mungkin lah ilang di mall. Abang juga udah nyari.”
Lesy kembali mencoba menarik tangan Albi dan untuk sekian kali Albi melepaskannya. Lesy kesal dan akhirnya berpisah dengan Albi. Ia memutuskan untuk jalan-jalan di mall seorang diri. Albi yang melihat Lesy pergi lekas mengikuti jejak-jejak Cheri. Di mall yang besar tersebut, Albi dan Abang berjalan mencari Cheri di arah yang berbeda.
            Albi melewati sebuah kedai kopi dan melihat Cheri sedang duduk sendirian disana. Albi menghampirinya dan duduk di depan Cheri. Kedua mata Cheri terlihat sedikit bengkak. Sebuah cangkir yang sudah tidak ada isinya masih digenggam oleh kedua tangan Cheri di atas meja. Cheri menyadari Albi sedang duduk di depannya dan memandanginya, tapi ia tidak berbuat apapun, hanya diam sambil menggenggam cangkir kopi yang sudah habis. Albi berdiri, menghampiri kasir, memesan secangkir late, dan memberikannya ke Cheri. Late yang sudah dipesan Albi untuk Cheri tidak mengubah apapun. Cheri tetap memegang cangkir kopi yang kosong tersebut.
            Albi memegang kedua tangan Cheri, melepaskannya dari cangkir kopi yang kosong. Kemudian ia menukar cangkir yang kosong dengan secangkir late yang ia pesan, dan kemudian menaruh kedua tangan Cheri untuk memegang cangkir tersebut. Albi tersenyum. Cheri melihat late tersebut, dan terdapat gambar wajah tersenyum diatas late tersebut. Raut wajah Cheri tidak berubah setelah melihatnya. Tetap kosong.
            Senyum Albi pelan-pelan hilang. Wajah penuh kecerian sekarang berubah menjadi wajah dengan penuh kecemasan. “Kok lo tiba-tiba begini sih, Cheri? Lo sakit? Cerita aja sama gw,” ucap Albi dalam hati. Cheri melirik ke Albi dan Albi lekas tersenyum ketika kedua mata mereka bertemu.
            Cheri menyodorkan cangkir latenya ke Albi. “Kembung,” ucapnya dengan suara yang amat pelan. Meski pelan, Albi bisa mendengarnya dengan jelas. Albipun meminum late yang ia pesan untuk Cheri dan setelah meneguk beberapa kali, tersisa sedikit kopi di dekat bibirnya. Cheri melihat tersebut dan tertawa tanpa suara.
            Albi memberikan tatapan ke Cheri dengan raut muka yang bertanya. Cheri memberitahukan ada sesuatu di bibir Albi. Ia  menunjuk bibir atasnya, memberitahu Albi apa yang ia lihat. Albi langsung tau maksud Cheri. Bukan langsung mengelapnya, ia malah membuat raut wajah yang lucu dan membuat Cheri tertawa tanpa suara lagi. Albi membersihkannya setelah Cheri berhenti tertawa.  Hanya bermain dengan raut wajah, mereka membangun suasana lucu tersebut. Dengan bermain raut wajah, mereka berkomunikasi. Kesunyian itu bukanlah kesunyian, melainkan suasana yang amat ceria.
            Cheri berhenti tertawa dan berkata dalam hati, “seandainya lo tahu kenapa gw kayak gini, Bi.”


.....................................

No comments:

Post a Comment