Tuesday, September 4, 2012

sebuah nama, sebuah cerita



Nama adalah sebuah identitas unik yang dimiliki setiap makhluk di bumi ini, baik makhluk hidup maupun benda mati. Pemberian nama terhadap tumbuhan maupun benda mati bersifat abstrak dan tergantung ‘pemberi’ nama. Berbeda dengan manusia. Manusia diberikana nama yang mengandung banyak arti, bukan abstrak, dan direncanakan jauh hari (pada umumnya). Orangtua sang bayi yang baru lahir telah menyiapkan nama calon anak mereka melalu refrensi orantua, ahli agama, buku, internet, sahabat, televisi, music, dan lain-lain. Nama yang diberikan juga mengandung doa, bermakna indah, serta dapat dijadikan gambaran anaknya pada masa depan. Tak jarang orangtua memberikan nama pada anaknya dengan nama orang-orang sukses di dunia. Kita ambil contoh Obama. Setelah Barack Obama menjadi presiden Amerika Serikat, pasti banyak anak yang terlahir dengan nama Obama agar suatu saat dapat menjadi sosok Presisden seperti beliau. Dapat pula menggunakana nama sifat seperti Tangguh, Tegar, Ayu, dan lain-lain. Dapat dikatakan bahwa sebuah nama adalah identitas sesorang untuk membedakkannya dengan orang lain  dan nama tersebut terbentuk dan membentuk banyak kisah dan cerita.

“Sebuah nama, sebuah cerita” itulah yang disimpulkan Ezca tentang kisahnya terhadap seorang laki-laki yang dianggapnya misteri hingga sekarang. Sebuah cerita yang hanya dialaminya sekali dan terus menjadi misteri dalam hidupnya. Dia bukan makhluk halus, dia manusia seutuhnya, hanya saja kisahnya tak berlanjut sampai yang Ezca mau.

Bulan Juni menjadi bulan pembuka kisah ini. Ezca dan ketiga kawannya mengikuti sebuah pekerjaan sambilan di kampus. Mereka dituntut untuk kerja di kampus dengan bayaran yang cukup untuk menambah uang saku. Yang mengikuti pekerjaan ini semua berasal dari kampus yang sama, namun berasal dari fakultas yang berbeda-beda.

“Selamat datang untuk kalian yang mau menghabiskan waktu liburannya untuk membantu kami disini,” ucap seorang karyawan fakultas bernama ibu Asih kepada 35 mahasiswa yang telah diterima bekerja.

Ezca memandangi satu persatu rekan kerjanya selama satu bulan kedepan. Yang ia kenal hanyalah tiga sahabatnya yang duduk berjejer di bangku di depannya. Tatapan Ezca terus beraliha dari satu wajah  ke wajah yang lainnya. Intensitas melihatnya pun hampir sama, tak mencapai 10 detik. Tanpa disadari, Ezca hanya fokus terhadap kegiatannya mengenali wajah teman-temannya. Ia tidak terlalu mendengarkan ibu Asih yang terus menjelaskan metode kerja di tempat itu. Sampai suatu ketika, ruangan berukuran cukup besar tersebut dipenuhi dengan suara tawa.

“Ada apaan?” bisik Ezca kepada sahabat di sampingnya.

“Itu, dia nanya jam pulangnya kapan, terus bu Asih ngejek dia udah kebelet pulang gara-gara besok mau malam minggu,” jawab sahabatnya sambil masih tertawa kecil.

Ezca memalingkan wajahnya kepada sesosok yang ditunjuk Vio sahabatnya tersebut. Mata tersebut berhenti di sosok laki-laki berambut hitam dengan sedikit jambul ditengahnya, berkuliat hitam manis, dan sedang tersenyum hingga gigi putihnya terlihat. Di sosok itu Ezca cukup lama melihat wajah yang baru ia kenal. Ia terus melihatnya, sambil sedikit tersenyum mendengar candaan bu Asih untuknya. Senyumnya manis banget ya, ucap Ezca di dalam hati. Senyum tersebut yang membuat Ezca tidak dapat memalingkan wajahnya.
Wajah itu, senyum itu, tawa itu, terus teringat dibenak Ezca. Lelaki tersebut juga menjadi salah satu alasan Ezca semangat bekerja. Sekali menyelam minum air, sebuah pribahasa yang menggambarkan hari-hari Ezca setelah melihat lelaki tersebut. Sambil bekerja mencari uang, Ezca juga menemukan sesosok untuk ia kagumi dan sukai.

Hampir setiap hari Ezca bertemu dengan lelaki ini. Tak jarang mereka duduk samping-sampingan dan bekerja. Namun keduanya fokus bekerja sehingga tak ada komunikasi diantara keduanya. Mereka juga makan siang bersama, tapi di kursi yang berbeda.

“Akhirnya, naksir juga kan lo sama dia? Alhamdulillah, semoga berjodoh. Kasian udah jomblo bertahun-tahun,” ejek Vio ketika Ezca menceritakan dirinya sedikit memperhatikan lelaki itu seminggu ini. Semenjak Ezca putus dengan pacarnya 4 tahun lalu, setiap kali ia suka dengan seorang laki-laki, perasaan itu tidak pernah terbalaskan. Sampai-sampai sahabatnya memberi label joker atau jomblo karatan.

“Gw modus banget deh, Vi. Kemaren pas dia duduk pas banget di samping gw, gw kan ngetawain dia yah soalnya dia ngelakuin hal lucu. Dia nyadar terus ketawa juga kearah gw. Gw langsung salting gitu. Terus kayaknya dia nyadar.”

“Aih. Jodoh kali, Ca. dari ketawa-tawa bareng, terus ngobrol bareng, kenalan, jadian deh. Unyu kan?”
Semenjak Vio mengetahu sahabatnya sedang menyukai lelaki tersebut, dari jauh ia suka memperhatikan sikap Ezca maupu lelaki itu. Keduanya tampak cocok, sama-sama suku melucu dan agak lemot dalam beberapa hal. Kerjaannya suka salah namun tetap dibawa senang, sangat mirip dengan Ezca.

Ezca juga merasakan adanya kecocokkan dengan lelaki itu. Suatu ketika, disaat makan siang, Vio dan kedua sahabatnya yang lain meninggalkan Ezca sendiri di meja. Tak jauh dari kursi Ezca berada, disampingnya terdapat lelaki tersebut sedang duduk dan berbincang dengan teman-temannya. Awalnya Ezca tak menyadari kehadirannya karena jarak yang memang agak jauh, namun tak terlalu jauh. Ezca yang seorang diri mencoba menyibukkan dirinya dengan memakan snack serta minum. Iapun tak berhenti menengok kesana-kemari karena tidak memiliki kegiatan lain.

“Ya ampun! Ada dia!” teriak Ezca dalam hati sambil langsung membuang muka ketika ia menengok kea rah lelaki itu dan ia sedang tertawa melihat kearah Ezca. Tubuh Ezca menolak untuk tenang, meski berkali-kali otaknya memerintahkan untuk tenang. Seketika Ezca jadi kikuk untuk berbuat banyak hal. Ia berhenti makan dan memainkan jarinya di meja. Ia sesekali menengok kea rah lelaki itu dan beberapa kali lelaki tersebut juga sedang melihat lurus kearahnya. “Dia ngeliat kearah gw? Demi apa?” tanya Ezca dalam hati lagi, sedikit panik. “Gw harus ngeliat kedepan, gak boleh nengok lagi.”

Meski tatapan Ezca lurus kedepan, melalui ekor mata kirinya, Ezca bisa melihat sosok lelaki itu masih melihat kearahnya. Saat ia curi-curi pandang, lelaki itu juga tak jarang sedang tersenyum ataupun tertawa mendengar lelucon temannya. Karena merasa masih dilihati, Ezca semakin kikuk dan salah tingkah. Batinnya menjadi tak tenang dan sibuk tanpa hal yang jelas.

“Handphone itu pengalih perhatian yang super dasyat. Kalau ketemu orang tapi males nyapa, pura-pura sibuk ngeliat hp, sibuk ngecek bbm, padahal cuman ngeliat jam atau ngetik sesuatu gak penting, adalah solusi terbaik, bukan?” teringat ucpan dosen di sebuah kelas kuliah mengingatkan Ezca kalau ia punya handphone. Dengan sigap ia sibuk memainkan handphone. Dari jauh memang terlihat sibuk mengurusi pesan yang masuk, seperti sedang berkomunikasi dengan orang lalu melalui kata-kata yang ditulis melalui keyboard handphone. Namun pada aslinya, Ezca hanya membuka menu, menekan tombol bawah, lalu keluar ke home screen, kemudia masuk lagi ke menu, atau pura-pura mengetik pesan namun tak ia kirim. Ke-kikuk-kan itu cukup berlangsung lama. Untung saja masa-masa salting Ezca selesai ketika Vio dan teman-temannya datang.

“Kok lama sih? Sholatnya di Mekkah?” Ezca menjadi aktif bertanya kepada teman-temannya untuk menutupi ke-salah tingkahannya terhadap lelaki tersebut. Lelaki itupun berpindah tempat ketika teman-teman Ezca tak lama sudah datang. Ia dan teman laki-lakinya yang lain masuk ke tempat kerja, meninggalkan area makan. Ingin sekali Ezca menceritakan hal tersebut kepada ketiga sahabatnya, namun ia masih salah tingkah tanpa bisa bercerita.

Dua minggu berlalu, kejadian kikuk tersebut tidak terjadi hanya satu kali. Sempat Ezca juga menyadari kalau lelaki itu sedang melihatinya dari jauh, namun yang kedua kalinya ini hanya sebentar, tak selama pada waktu siang itu. Karena merasa lelaki itu juga punya perasaan kepadanya, dengan percaya diri yang tinggi, Ezca menceritakan setiap kejadian tersebut kepada Vio dan sahabat-sahabatnya.

“Serius dia ngeliatin lo? suka juga kali, Ca? Parah, kalian tuh cocok banget. Sama-sama tablonya, sama-sama lemotnya, tapi ya lumayan anaknya.”

“Beneran, Vi. Lo tau kan kalau gw diliatin orang salting gw parahnya kayak apa? Gw tiba-tiba nyisir rambut, mainin hp, ngelap tangan, ngambil tisu basah, parah banget. Dan kalian gak ada, gw sendirian. mati kutu banget!”

“Udah tau namanya siapa?” tanya sahabat Ezca yang lainnya. Ezca menggeleng. “2 minggu gak tahu apa-apa?! Parah sih ini namanya!!! Bentar lagi kita selesai loh! Kepo-in gih sana!” ketiga sahabat Ezca kaget karena Ezca masih belum tahu nama cowok tersebut, cowok yang kemungkinan dapat membalas perasaannya setelah 4 tahun ini selalu bertepuk sebelah tangan.
Keesokan harinya, Vio dan sahabat-sahabatnya mencoba membantu Ezca. Hari ini adalah hari keberuntungan mereka. Lelaki itu duduk disamping Vio dan dengan lirikkan tajamnya, Vio bisa membaca nama yang tertera di lembar kerja lelaki tersebut. Setelah memastikan nama tersebut, Vio memanggil Ezca yang sengaja lewat dibelakangnya. Dengan isyarat mulut, Vio memberitahukan nama lelaki tersebut. “Fajar” mulut Vio dengan jelas mengucapkan nama tersebut dan Ezca langsung mengangguk.

“Oh Fajar? Matahari yah berarti? Cie bersinar sendiri di ruangan ini,” ucap Ezca dalam hati sambil senyum tak jelas kearah lelaki yang bernama Fajar tersebut. Dengan mengetahu namanya, Ezca jadi semakin mudah apalagi bercerita kepada sahabatnya tentang Fajar. Tak ada lagi penggunaan kata ganti ‘lelaki itu’ yang dapat merujuk kepada setiap lelaki diruangan. Dengan ‘Fajar’ Ezca dan sahabat-sahabatnya bisa langsung tahu, Fajar adalah lelaki yang Ezca suka, yang juga tampaknya mengagumi Ezca.

Nama itu terlalu lama ia dapat. Masa bekerja sudah menjelang akhir. Fajar tak muncul pada 4 hari terkahir kerja, tanpa ada yang tahu kenapa. Mungkin bu Asih dan karyawan yang lain mengetahui alasannya, namun tidak untuk Ezca. Setiap mau berangkat, diperjalanan, Ezca selalu berharap dapat bertemu Fajar. Sampai-sampai Ezca menjanjikkan sesuatu. “Kalau hari ini ketemu Fajar, gw harus kenalan langsung. Gak boleh enggak,” janjinya untuk dirinya sendiri. Ezca selalu takut untuk berkenalan langsung dengan orang yang ia suka. Ia selalu meminta tolong kepada salah satu temannya yang memang bermulut besar. Namun sayang, teman itu tidak ikut bekerja sehingga tidak ada yang comel dan iseng mengenalkan Ezca dengan Fajar.
Ezca sering mengalami hal ini. suka sama orang, tapi karena takut berkenalan maupun mengajak bicara pada akhirnya hanya bertepuk sebelah tangan. Ezca adalah tipe perempuan yang terlalu banyak berpikir, “aduh entar dia mikrinya gimana? Aduh nanti dia gak nyaman gw aja ngomong” dan lain-lain. Hal tersebut yang menahannya untuk bisa maju mendapatkan balasan dari perasaannya.

“Cari tahu orang yang kita suka lewat facebook atau twitter. Jaman udah modern. Bisa jadi hubungan kita makin akrab karena jaringan sosial tersebut.” Kembali kata-kata dari dosen yang sama, yang berbicara tentang handphone, memberikan ide kepada Ezca. Dia harus tahu nama panjang Fajar karena Fajar adalah nama umum. Mataharipun memiliki nama lain Fajar.

Akhirny Ezca mendapatkan nama panjang Fajar melalui absen mahasiswa pada hari terakhir kerja, saat itu Fajar kembali tidak hadir. Tertulis disana, M.Fajar Hidayat. Saat di rumah, Ezca lansung mencari nama itu di dua jejaring sosial terlaris di dunia, facebook dan twitter. Namun nama panjang itupun adalah nama umum. Hasilnya pun nihil. M.Fajar Hidayat yang Ezca temukan bukanlah Fajar si lelaki bersenyum manis, berkulit sawo matang, dan sering tertawa. Rasa penasaran Ezca terhadap Fajar tak berhenti disitu. Ia membuka google, dengan berbagai keyword agar merujuk kepada Fajar yang dimaksud. Tapi kembali hasilnya nihil.

“Dia gak lahir di dunia maya. Manusia macam apa itu?!” dumel Ezca setelah beberapa hari mencari nama yang sama namun tak merujuk kepada orang yang sama.

“Bener-bener gak ada, Ca?” tanya Mina, sahabat Ezca.

“Sempet ada, namanya sama percis, kampusnya sama, anak FISIP. Tapi cuman dikasih tau nama itu di mahasiswa jurusan administrasi. Tau sendiri administrasi ada banyak banget.” Ketika Ezca merasa keyakinan Fajar Hidayat yang dimaksud adalah anak administrasi, ia langsung merasa menemukan pencerahan setelah pencarian yang buntu. Namun pencerahan itu berakhir dengan jalan buntu yang gelap.  “Tapi pas gw tanyain ke temen gw yang anak administrasi, nama Fajar ada tapi bukan Fajar Hidayat dan anak admin itu banyak banget. Dia gak hapal satu persatu.”

“Jadi intinya, lo gak tahu Fajar ini mahasiswa jurusan apa, fakultas apa, tinggal dimana, backgroundnya kayak apa, gak tahu?” sindir Vio.

Ezca menggeleng dengan sedih. Minapun berkata, “pas lo udah nemu satu yang cocok dan dia juga kayaknya impress sama lo, akhirnya malah misteri gini.”

“Coba gw berani ngajak ngobrol yah, coba gw berani ngajak kenalan, pasti gak gini akhirnya.” Sejak saat itu, Ezca terus menyalahi dirinya terhadap sikapnya yang begitu ciut didepan orang yang ia suka. Ia terlalu banyak berpikir hal aneh-aneh tanpa melakukan tindakan yang tegas. Pikiran tersebut yang membuatnya takut untuk melangkah sehingga selalu mendapatkan hasil yang sama.

Sebulan, dua bulan, 3 bulan setelah pekerjaan itu berakhir, sesekali Ezca masih mencari nama yang sama di jejaring sosial maupun di situs-situs yang biasa digunakan mahasiswa untuk berkomunikasi. Setiap kali mencari, hasil yang ditemukkan pun tak jauh berbeda. M. Fajar Hidayat yang muncul bukanlah Fajar yang ia maksud. Sering kali Ezca menggalukan tentang Fajar di twitter, berharap ada orang yang menyaut dan memberikan petunjuk kepadanya mengenai Fajar itu. Janjinya masih berlaku, kalau ia ketemu dengan Fajar lagi, ia akan memberanikan diri untuk menyapa dan berkenalan.
Karena Fajar tersebut, pemikiran Ezca kepada setiap nama Fajar berubah dan selalu merujuk kepada Fajar si senyuman manis. Toko musik didekat rumahnya baru ia sadari bernama Fajar setelah ia jatuh cinta dengan Fajar senyuman manis. Banyak toko-toko yang ia temui bernama Fajar dan tanpa ia sadari selalu membuatnya tersenyum.

Sayang gw gak ikut pekerjaan itu. Kalau ada gw, gw pasti langsung ngenalin Ezca dengan Fajar. Melihat sahabat sendiri bahagia dan akhirnya punya pacar memberikan kesangan sendiri untuk gw. Gw Nata, terkenal comel, gak tau malu tapi selalu berhasil membuat orang-orang jadian dan langgeng. Untuk kisah Ezca, sampai saat ini ia masih sering mikirin Fajar. Fajar itu sesosok yang wah banget karena ke-misteriusannya. Gwpun gak bisa bantu karena memang dia misterius. Ketika orang tidak terdeteksi di dunia maya, ia akan semakin susah dicara di dunia nyata. Tapi kata orang, kalau jodoh gak akan kemana. Ezca suatu hari nanti pasti menemukan Fajar Hidayat yang ia maksud karena baru pertama kali ia merasa rasa sukanya terbalas setelah putus sama pacarnya. Sebuah nama, sebuah cerita. Nama Fajar Hidayat untuk kisah enchanted seorang pemalu bernama Ezca. Beberapa hal yang bisa gw ambil dair cerita ini, thinkless and speak now. Berani berbicara dan jangan terlalu banyak mikir agar tidak menjadi penyesalan nantinya. Fajar akan menjadi misteri dalam hidup Ezca. Siapapun Fajar Hidayat itu, Ezca selalu mencarinya. 

No comments:

Post a Comment