dans une cantine, j'ai rencontré une étudiante extraordinaire. J'ai pris mon déjuner avec mon amie en discutant du film E.T. Et puis cette étudiante s'asseyait à coté de nous. Nous continuons notre discussions. Soudain, cette étudiante est parlée elle-meme. C'est très bizarre mais nous l'écoutions. Elle parlait d' extraterrestre et d'UFO. Puis elle a dit qu'une extraterrestre lui enlavait. Elle nous a regardées soudainement. Elle nous a parlé que l'extraterrestre etait existe et qu'on devra faire attention!
cette étudiante était extraordinaire puisqu'elle a enlevé par l'extraterrestre.
Saturday, September 29, 2012
Tuesday, September 4, 2012
sebuah nama, sebuah cerita
Nama adalah sebuah identitas unik yang dimiliki setiap
makhluk di bumi ini, baik makhluk hidup maupun benda mati. Pemberian nama
terhadap tumbuhan maupun benda mati bersifat abstrak dan tergantung ‘pemberi’
nama. Berbeda dengan manusia. Manusia diberikana nama yang mengandung banyak
arti, bukan abstrak, dan direncanakan jauh hari (pada umumnya). Orangtua sang
bayi yang baru lahir telah menyiapkan nama calon anak mereka melalu refrensi
orantua, ahli agama, buku, internet, sahabat, televisi, music, dan lain-lain. Nama
yang diberikan juga mengandung doa, bermakna indah, serta dapat dijadikan
gambaran anaknya pada masa depan. Tak jarang orangtua memberikan nama pada
anaknya dengan nama orang-orang sukses di dunia. Kita ambil contoh Obama. Setelah
Barack Obama menjadi presiden Amerika Serikat, pasti banyak anak yang terlahir
dengan nama Obama agar suatu saat dapat menjadi sosok Presisden seperti beliau.
Dapat pula menggunakana nama sifat seperti Tangguh, Tegar, Ayu, dan lain-lain.
Dapat dikatakan bahwa sebuah nama adalah identitas sesorang untuk
membedakkannya dengan orang lain dan nama
tersebut terbentuk dan membentuk banyak kisah dan cerita.
“Sebuah nama, sebuah cerita” itulah yang disimpulkan Ezca
tentang kisahnya terhadap seorang laki-laki yang dianggapnya misteri hingga
sekarang. Sebuah cerita yang hanya dialaminya sekali dan terus menjadi misteri
dalam hidupnya. Dia bukan makhluk halus, dia manusia seutuhnya, hanya saja
kisahnya tak berlanjut sampai yang Ezca mau.
Bulan Juni menjadi bulan pembuka kisah ini. Ezca dan ketiga
kawannya mengikuti sebuah pekerjaan sambilan di kampus. Mereka dituntut untuk
kerja di kampus dengan bayaran yang cukup untuk menambah uang saku. Yang
mengikuti pekerjaan ini semua berasal dari kampus yang sama, namun berasal dari
fakultas yang berbeda-beda.
“Selamat datang untuk kalian yang mau menghabiskan waktu
liburannya untuk membantu kami disini,” ucap seorang karyawan fakultas bernama
ibu Asih kepada 35 mahasiswa yang telah diterima bekerja.
Ezca memandangi satu persatu rekan kerjanya selama satu bulan
kedepan. Yang ia kenal hanyalah tiga sahabatnya yang duduk berjejer di bangku
di depannya. Tatapan Ezca terus beraliha dari satu wajah ke wajah yang lainnya. Intensitas melihatnya
pun hampir sama, tak mencapai 10 detik. Tanpa disadari, Ezca hanya fokus
terhadap kegiatannya mengenali wajah teman-temannya. Ia tidak terlalu
mendengarkan ibu Asih yang terus menjelaskan metode kerja di tempat itu. Sampai
suatu ketika, ruangan berukuran cukup besar tersebut dipenuhi dengan suara
tawa.
“Ada apaan?” bisik Ezca kepada sahabat di sampingnya.
“Itu, dia nanya jam pulangnya kapan, terus bu Asih ngejek dia
udah kebelet pulang gara-gara besok mau malam minggu,” jawab sahabatnya sambil
masih tertawa kecil.
Ezca memalingkan wajahnya kepada sesosok yang ditunjuk Vio
sahabatnya tersebut. Mata tersebut berhenti di sosok laki-laki berambut hitam
dengan sedikit jambul ditengahnya, berkuliat hitam manis, dan sedang tersenyum
hingga gigi putihnya terlihat. Di sosok itu Ezca cukup lama melihat wajah yang
baru ia kenal. Ia terus melihatnya, sambil sedikit tersenyum mendengar candaan
bu Asih untuknya. Senyumnya manis banget
ya, ucap Ezca di dalam hati. Senyum tersebut yang membuat Ezca tidak dapat memalingkan
wajahnya.
Wajah itu, senyum itu, tawa itu, terus teringat dibenak Ezca.
Lelaki tersebut juga menjadi salah satu alasan Ezca semangat bekerja. Sekali
menyelam minum air, sebuah pribahasa yang menggambarkan hari-hari Ezca setelah
melihat lelaki tersebut. Sambil bekerja mencari uang, Ezca juga menemukan
sesosok untuk ia kagumi dan sukai.
Hampir setiap hari Ezca bertemu dengan lelaki ini. Tak jarang
mereka duduk samping-sampingan dan bekerja. Namun keduanya fokus bekerja
sehingga tak ada komunikasi diantara keduanya. Mereka juga makan siang bersama,
tapi di kursi yang berbeda.
“Akhirnya, naksir juga kan lo sama dia? Alhamdulillah, semoga
berjodoh. Kasian udah jomblo bertahun-tahun,” ejek Vio ketika Ezca menceritakan
dirinya sedikit memperhatikan lelaki itu seminggu ini. Semenjak Ezca putus
dengan pacarnya 4 tahun lalu, setiap kali ia suka dengan seorang laki-laki,
perasaan itu tidak pernah terbalaskan. Sampai-sampai sahabatnya memberi label
joker atau jomblo karatan.
“Gw modus banget deh, Vi. Kemaren pas dia duduk pas banget di
samping gw, gw kan ngetawain dia yah soalnya dia ngelakuin hal lucu. Dia nyadar
terus ketawa juga kearah gw. Gw langsung salting gitu. Terus kayaknya dia
nyadar.”
“Aih. Jodoh kali, Ca. dari ketawa-tawa bareng, terus ngobrol
bareng, kenalan, jadian deh. Unyu kan?”
Semenjak Vio mengetahu sahabatnya sedang menyukai lelaki
tersebut, dari jauh ia suka memperhatikan sikap Ezca maupu lelaki itu. Keduanya
tampak cocok, sama-sama suku melucu dan agak lemot dalam beberapa hal.
Kerjaannya suka salah namun tetap dibawa senang, sangat mirip dengan Ezca.
Ezca juga merasakan adanya kecocokkan dengan lelaki itu.
Suatu ketika, disaat makan siang, Vio dan kedua sahabatnya yang lain
meninggalkan Ezca sendiri di meja. Tak jauh dari kursi Ezca berada,
disampingnya terdapat lelaki tersebut sedang duduk dan berbincang dengan
teman-temannya. Awalnya Ezca tak menyadari kehadirannya karena jarak yang
memang agak jauh, namun tak terlalu jauh. Ezca yang seorang diri mencoba
menyibukkan dirinya dengan memakan snack serta minum. Iapun tak berhenti
menengok kesana-kemari karena tidak memiliki kegiatan lain.
“Ya ampun! Ada dia!” teriak Ezca dalam hati sambil langsung
membuang muka ketika ia menengok kea rah lelaki itu dan ia sedang tertawa
melihat kearah Ezca. Tubuh Ezca menolak untuk tenang, meski berkali-kali
otaknya memerintahkan untuk tenang. Seketika Ezca jadi kikuk untuk berbuat
banyak hal. Ia berhenti makan dan memainkan jarinya di meja. Ia sesekali
menengok kea rah lelaki itu dan beberapa kali lelaki tersebut juga sedang
melihat lurus kearahnya. “Dia ngeliat kearah gw? Demi apa?” tanya Ezca dalam
hati lagi, sedikit panik. “Gw harus ngeliat kedepan, gak boleh nengok lagi.”
Meski tatapan Ezca lurus kedepan, melalui ekor mata kirinya,
Ezca bisa melihat sosok lelaki itu masih melihat kearahnya. Saat ia curi-curi
pandang, lelaki itu juga tak jarang sedang tersenyum ataupun tertawa mendengar
lelucon temannya. Karena merasa masih dilihati, Ezca semakin kikuk dan salah
tingkah. Batinnya menjadi tak tenang dan sibuk tanpa hal yang jelas.
“Handphone itu pengalih perhatian yang super dasyat. Kalau ketemu
orang tapi males nyapa, pura-pura sibuk ngeliat hp, sibuk ngecek bbm, padahal cuman ngeliat jam atau
ngetik sesuatu gak penting, adalah solusi terbaik, bukan?” teringat ucpan dosen
di sebuah kelas kuliah mengingatkan Ezca kalau ia punya handphone. Dengan sigap
ia sibuk memainkan handphone. Dari jauh memang terlihat sibuk mengurusi pesan
yang masuk, seperti sedang berkomunikasi dengan orang lalu melalui kata-kata
yang ditulis melalui keyboard handphone. Namun pada aslinya, Ezca hanya membuka
menu, menekan tombol bawah, lalu keluar ke home
screen, kemudia masuk lagi ke menu, atau pura-pura mengetik pesan namun tak
ia kirim. Ke-kikuk-kan itu cukup berlangsung lama. Untung saja masa-masa
salting Ezca selesai ketika Vio dan teman-temannya datang.
“Kok lama sih? Sholatnya di
Mekkah?” Ezca menjadi aktif bertanya kepada teman-temannya untuk menutupi
ke-salah tingkahannya terhadap lelaki tersebut. Lelaki itupun berpindah tempat
ketika teman-teman Ezca tak lama sudah datang. Ia dan teman laki-lakinya yang
lain masuk ke tempat kerja, meninggalkan area makan. Ingin sekali Ezca
menceritakan hal tersebut kepada ketiga sahabatnya, namun ia masih salah
tingkah tanpa bisa bercerita.
Dua minggu berlalu, kejadian kikuk
tersebut tidak terjadi hanya satu kali. Sempat Ezca juga menyadari kalau lelaki
itu sedang melihatinya dari jauh, namun yang kedua kalinya ini hanya sebentar,
tak selama pada waktu siang itu. Karena merasa lelaki itu juga punya perasaan
kepadanya, dengan percaya diri yang tinggi, Ezca menceritakan setiap kejadian
tersebut kepada Vio dan sahabat-sahabatnya.
“Serius dia ngeliatin lo? suka juga
kali, Ca? Parah, kalian tuh cocok banget. Sama-sama tablonya, sama-sama
lemotnya, tapi ya lumayan anaknya.”
“Beneran, Vi. Lo tau kan kalau gw
diliatin orang salting gw parahnya kayak apa? Gw tiba-tiba nyisir rambut,
mainin hp, ngelap tangan, ngambil tisu basah, parah banget. Dan kalian gak ada,
gw sendirian. mati kutu banget!”
“Udah tau namanya siapa?” tanya
sahabat Ezca yang lainnya. Ezca menggeleng. “2 minggu gak tahu apa-apa?! Parah
sih ini namanya!!! Bentar lagi kita selesai loh! Kepo-in gih sana!” ketiga
sahabat Ezca kaget karena Ezca masih belum tahu nama cowok tersebut, cowok yang
kemungkinan dapat membalas perasaannya setelah 4 tahun ini selalu bertepuk
sebelah tangan.
Keesokan harinya, Vio dan
sahabat-sahabatnya mencoba membantu Ezca. Hari ini adalah hari keberuntungan
mereka. Lelaki itu duduk disamping Vio dan dengan lirikkan tajamnya, Vio bisa
membaca nama yang tertera di lembar kerja lelaki tersebut. Setelah memastikan
nama tersebut, Vio memanggil Ezca yang sengaja lewat dibelakangnya. Dengan
isyarat mulut, Vio memberitahukan nama lelaki tersebut. “Fajar” mulut Vio
dengan jelas mengucapkan nama tersebut dan Ezca langsung mengangguk.
“Oh Fajar? Matahari yah berarti?
Cie bersinar sendiri di ruangan ini,” ucap Ezca dalam hati sambil senyum tak
jelas kearah lelaki yang bernama Fajar tersebut. Dengan mengetahu namanya, Ezca
jadi semakin mudah apalagi bercerita kepada sahabatnya tentang Fajar. Tak ada
lagi penggunaan kata ganti ‘lelaki itu’ yang dapat merujuk kepada setiap lelaki
diruangan. Dengan ‘Fajar’ Ezca dan sahabat-sahabatnya bisa langsung tahu, Fajar
adalah lelaki yang Ezca suka, yang juga tampaknya mengagumi Ezca.
Nama itu terlalu lama ia dapat.
Masa bekerja sudah menjelang akhir. Fajar tak muncul pada 4 hari terkahir
kerja, tanpa ada yang tahu kenapa. Mungkin bu Asih dan karyawan yang lain
mengetahui alasannya, namun tidak untuk Ezca. Setiap mau berangkat,
diperjalanan, Ezca selalu berharap dapat bertemu Fajar. Sampai-sampai Ezca
menjanjikkan sesuatu. “Kalau hari ini ketemu Fajar, gw harus kenalan langsung.
Gak boleh enggak,” janjinya untuk dirinya sendiri. Ezca selalu takut untuk
berkenalan langsung dengan orang yang ia suka. Ia selalu meminta tolong kepada
salah satu temannya yang memang bermulut besar. Namun sayang, teman itu tidak
ikut bekerja sehingga tidak ada yang comel dan iseng mengenalkan Ezca dengan
Fajar.
Ezca sering mengalami hal ini. suka
sama orang, tapi karena takut berkenalan maupun mengajak bicara pada akhirnya
hanya bertepuk sebelah tangan. Ezca adalah tipe perempuan yang terlalu banyak
berpikir, “aduh entar dia mikrinya gimana? Aduh nanti dia gak nyaman gw aja
ngomong” dan lain-lain. Hal tersebut yang menahannya untuk bisa maju
mendapatkan balasan dari perasaannya.
“Cari tahu orang yang kita suka
lewat facebook atau twitter. Jaman udah modern. Bisa jadi hubungan kita makin
akrab karena jaringan sosial tersebut.” Kembali kata-kata dari dosen yang sama,
yang berbicara tentang handphone, memberikan ide kepada Ezca. Dia harus tahu
nama panjang Fajar karena Fajar adalah nama umum. Mataharipun memiliki nama
lain Fajar.
Akhirny Ezca mendapatkan nama
panjang Fajar melalui absen mahasiswa pada hari terakhir kerja, saat itu Fajar
kembali tidak hadir. Tertulis disana, M.Fajar Hidayat. Saat di rumah, Ezca
lansung mencari nama itu di dua jejaring sosial terlaris di dunia, facebook dan
twitter. Namun nama panjang itupun adalah nama umum. Hasilnya pun nihil. M.Fajar
Hidayat yang Ezca temukan bukanlah Fajar si lelaki bersenyum manis, berkulit
sawo matang, dan sering tertawa. Rasa penasaran Ezca terhadap Fajar tak
berhenti disitu. Ia membuka google, dengan berbagai keyword agar merujuk kepada
Fajar yang dimaksud. Tapi kembali hasilnya nihil.
“Dia gak lahir di dunia maya.
Manusia macam apa itu?!” dumel Ezca setelah beberapa hari mencari nama yang
sama namun tak merujuk kepada orang yang sama.
“Bener-bener gak ada, Ca?” tanya
Mina, sahabat Ezca.
“Sempet ada, namanya sama percis,
kampusnya sama, anak FISIP. Tapi cuman dikasih tau nama itu di mahasiswa
jurusan administrasi. Tau sendiri administrasi ada banyak banget.” Ketika Ezca
merasa keyakinan Fajar Hidayat yang dimaksud adalah anak administrasi, ia
langsung merasa menemukan pencerahan setelah pencarian yang buntu. Namun
pencerahan itu berakhir dengan jalan buntu yang gelap. “Tapi pas gw tanyain ke temen gw yang anak
administrasi, nama Fajar ada tapi bukan Fajar Hidayat dan anak admin itu banyak
banget. Dia gak hapal satu persatu.”
“Jadi intinya, lo gak tahu Fajar
ini mahasiswa jurusan apa, fakultas apa, tinggal dimana, backgroundnya kayak
apa, gak tahu?” sindir Vio.
Ezca menggeleng dengan sedih.
Minapun berkata, “pas lo udah nemu satu yang cocok dan dia juga kayaknya impress sama lo, akhirnya malah misteri
gini.”
“Coba gw berani ngajak ngobrol yah,
coba gw berani ngajak kenalan, pasti gak gini akhirnya.” Sejak saat itu, Ezca
terus menyalahi dirinya terhadap sikapnya yang begitu ciut didepan orang yang
ia suka. Ia terlalu banyak berpikir hal aneh-aneh tanpa melakukan tindakan yang
tegas. Pikiran tersebut yang membuatnya takut untuk melangkah sehingga selalu
mendapatkan hasil yang sama.
Sebulan, dua bulan, 3 bulan setelah
pekerjaan itu berakhir, sesekali Ezca masih mencari nama yang sama di jejaring
sosial maupun di situs-situs yang biasa digunakan mahasiswa untuk
berkomunikasi. Setiap kali mencari, hasil yang ditemukkan pun tak jauh berbeda.
M. Fajar Hidayat yang muncul bukanlah Fajar yang ia maksud. Sering kali Ezca
menggalukan tentang Fajar di twitter, berharap ada orang yang menyaut dan
memberikan petunjuk kepadanya mengenai Fajar itu. Janjinya masih berlaku, kalau
ia ketemu dengan Fajar lagi, ia akan memberanikan diri untuk menyapa dan
berkenalan.
Karena Fajar tersebut, pemikiran
Ezca kepada setiap nama Fajar berubah dan selalu merujuk kepada Fajar si
senyuman manis. Toko musik didekat rumahnya baru ia sadari bernama Fajar
setelah ia jatuh cinta dengan Fajar senyuman manis. Banyak toko-toko yang ia
temui bernama Fajar dan tanpa ia sadari selalu membuatnya tersenyum.
Sayang gw gak ikut pekerjaan itu.
Kalau ada gw, gw pasti langsung ngenalin Ezca dengan Fajar. Melihat sahabat
sendiri bahagia dan akhirnya punya pacar memberikan kesangan sendiri untuk gw.
Gw Nata, terkenal comel, gak tau malu tapi selalu berhasil membuat orang-orang
jadian dan langgeng. Untuk kisah Ezca, sampai saat ini ia masih sering mikirin
Fajar. Fajar itu sesosok yang wah banget karena ke-misteriusannya. Gwpun gak
bisa bantu karena memang dia misterius. Ketika orang tidak terdeteksi di dunia
maya, ia akan semakin susah dicara di dunia nyata. Tapi kata orang, kalau jodoh
gak akan kemana. Ezca suatu hari nanti pasti menemukan Fajar Hidayat yang ia
maksud karena baru pertama kali ia merasa rasa sukanya terbalas setelah putus
sama pacarnya. Sebuah nama, sebuah cerita. Nama Fajar Hidayat untuk kisah enchanted seorang pemalu bernama Ezca.
Beberapa hal yang bisa gw ambil dair cerita ini, thinkless and speak now. Berani berbicara dan jangan terlalu banyak
mikir agar tidak menjadi penyesalan nantinya. Fajar akan menjadi misteri dalam
hidup Ezca. Siapapun Fajar Hidayat itu, Ezca selalu mencarinya.
Monday, September 3, 2012
HPD PSA-MABIM 2012
peralihan masa SMA menuju perkuliahan diawali dengan ospek universitas lalu fakultas terakhir adalah jurusan. kata ospek sendiri lebih enak didengar dengan 'pengenalan kehidupan kampus'. tahun ini gw baru pertama kalinya gabung kepanitian masa orientasi mahasiswa baru Universitas Indonesia, khususnya untuk tingkat fakultas, atau yang lebih sering disebut PSA-MABIM FIB UI. Tahun pertama mengikuti kepanitian PSA-MABIM gw diajak khusus oleh PJ HPD untuk bergabung. Ya, gw memilih untuk bergabung dalam divis Humas, Publikasi, Dokumentasi, divisi yang dianggap orang nyantai tapi sebenarnya gak kalah berat dengan divisi2 lain yang dianggap superior. Mengapa? jujur saja, komunikasi langsung dengan maba serta seluruh warga FIB memiliki tanggaung jawab yang besar. Sedikit saja komunikasi yang disampaikan salah atau kurang, kedepannya akan terjadi kesalahpahaman. Publikasi acara yang harus seceara besar dan harus sampai ketelinga seluruh mahasiswa baru FIB UI 2012 serta warga FIB, bukanlah pekerjaan yang mudah. Bolehlah yang mengganggap divisi ini mudah, tahun depan boleh mencoba bergabung. Apalagi tekanan untuk membuat video persembahan pada acara puncak, MABIM, sangat besar. Kami dituntut agar dapat menyampaikan pesan kebersamaan, suka, cita, haru, tawa, semua luapan perasaaan yang terjadi selama PSA-MABIM yang berlangsung selama 4 hari. Untungnya teman-teman yang gw dapatkan di divisi ini adalah orang-orang yang asik, seru, kreatif, dan gak tahu malu, dan juga mereka adalah orang-orang yang bertanggung jawab dan sangat bisa diandalkan satu sama lain. meski awalnya, saat baru kenal, sedikit canggung dan jaga jarak, memasuki hari pertama PSA, hal-hal tersebut hilang. Gak ada lagi istilah "gw 2010, lo 2011" atau "gw lebih tau ttg HPD lo enggak" (hiperbola), semuanya hilang dan kebersamaan dan kasih sayang itu tumbuh. Bagaimana tidak? Kita kerja shif, dan memiliki basecamp sendiri. dengan adanya shif kerja, kami saling membantu, meringankan beban satu sama lain. Basecamp yang seperti rumah menjadi tempat penuh makna, penuh peristiwa dan kisah yang menumbuhkan kasih sayang. Rumah adalah tempat kita belajar menyangi orangtua dan keluarga kita, begitu pula dengan basecamp. gw merasa itu adalah rumahnya HPD, dan disitulah kami, divisi HPD, bersatu.
niatnya gw mau puitis, mengingat ada seorang mahasiswa baru FIB UI 2012, menulis sebuah artikel di kompasiana.com mengenai PSA-MABIM kemarin dan itu menyentuh banget. pembuatan kalimat, pemilihan kata, sangat mengandung makna. bisa baca disini -> http://edukasi.kompasiana.com/2012/09/02/aku-bangga-di-fakultas-ilmu-pengetahuan-budaya/ mungkin sedikit hiperbola, tp gw tersentuh dan tersadar kalau emang harus bangga masuk FIB. Ya mungkin gw udah bangga masuk FIB, tapi masih ada rasa-rasa yang kurang pas, tapi rasa itu sedikit demi sedikit runtuh setelah baca artikel ini. siapapun engkau, kamu berbakat banget.
balik ke HPD. Intinya, terimakasih banget atas kebersamaan dan waktu canda tawanya. Ternyata kita klop banget yah, gak nyangka. sayang banget sama kalian semua. team terbaik! Gw belajar banyak hal loh di sini, khususnya per-kamera-an. opini gw aja ya, biarin lah kita gak dianggap divisi terbaik oleh maba, kita tau lah siapa yang selalu mereka suka. Tapi yang pasti, apa yang udah kita kasih ke mereka adalah yang terbaik. Biarkan kita menjadi man behind the movie, kita kerja di balik layar. Oh iya satu yang gw paling suka sama divisi ini, mereka mengakui apa yang harus diakui. Salut buat hanna (prancis 2011) yang mengakui dia salah ketika PSA hari kedua ttg live show dari audit menuju lobby. Dia berani ngomong itu salah dia, disaat yang lain banyak membuat alasan (no offense, opini aja menurut gw). pokoknya, ini divisi terbaik, gw sayang kalian.
left to right : nosi, rama, ninis, fariz, hanna, licca, sunia, yoan, echa, ovi, anns, bajay, hani, aubrey. (+ rifki, nurul, rahma)
je vous aime!!
HPD?! "SELAMAT MENANGKAP BERKAH BERSAMA HPD! HAP HAP, HAP HAP POSE, POSE!"
Subscribe to:
Posts (Atom)